Perang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa manusia. Karena
dalam peperangan manusia dihadapkan dengan kesusahan fisik dan mental.
Perang juga memisahkan manusia dari keluarga dan kerabat. Bahkan perang
bisa berakibat berpisahnya ruh dari jasadnya. Allah Ta’ala berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن
تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً
وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 216).
Bertolak belakang dengan keinginan jiwa manusia, realitanya perang
selalu mengiringi kehidupan mereka. Perang selalu terjadi dalam kurun
perjalanan sejarah dengan motif dan tujuan yang beragam. Ada yang
berperang karena memperebutkan sumber daya, ada pula karena ambisi
merebut dunia, bahkan perang pun terjadi karena kisah cinta laki-laki
dan wanita. Artinya, perang adalah sebuah keniscayaan.
Banyak agama dan aliran kepercayaan menolak kalau mereka dianggap
mengajarkan peperangan, meskipun faktanya mereka telah melakukan
pembantaian. Sementara agama Islam secara jujur menyatakan perang
termaktub dalam fikihnya. Keniscayaan perang ditata dan diatur dalam
Islam dengan penuh kebijaksanaan dan kemuliaan. Islam mengajarkan perang
yang penuh adab dan akhlak. Islam mengajarkan perang yang bernilai
ibadah, bukan membantai, membunuh membabi buta, penuh dendam dan
kezaliman. Islam mengajarkan perang yang berkonsekuensi hidup mulia atau
wafat menjemput syahadah, bukan kemenangan yang menindas dan kekalahan
yang hina. Oleh karena itu, Ali bin al-Hasan mengatakan,
كُنَّا نُعَلَّمُ مَغَازِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَرَايَاهُ كَمَا نُعَلَّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Kami mempelajari (kisah) peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan perjalanan hidup beliau sebagaimana kami mempelajari surat di dalam
Alquran.” (al-Jami’ li-l Akhlaqi-r Rawi wa Adabu-s Sami’ li-l Khatib,
No. 1616).
Pada tulisan kali ini, penulis tidak membahas hikmah dari peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tulisan ini hanya merupakan catatan ringkas dari peperangan yang terjadi di zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai titik mula bagi para pembaca untuk mempelajari dan mengkaji kisah-kisah peperangan Rasulullah lebih mendalam lagi.
Ibnu Hisyam menyatakan ada 27 peperangan yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun hanya tujuh di antaranya yang terjadi kontak senjata yakni pada
Perang Badar II, Uhud, Khandaq, Bani Quraizhah, Bani Musthaliq, Thaif,
dan Hunain.
Berikut ini cuplikan dari peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama: Perang Waddan atau Perang al-Abwa.
Perang ini terjadi pada bulan Shafar tahun 2 H/623 M. Waddan adalah
suatu daerah yang terletak 250 Km di Tenggara Kota Madinah. Jumlah
pasukan Islam dalam perang ini sebanyak 70 orang dari kalangan sahabat
Muhajirin saja. Dan dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perang ini disebabkan serombongan kafilah Quraisy Mekah melewati
wilayah Waddan. Sebagaimana kita ketahui, orang-orang kafir Quraisy
telah mengobarkan peperangan terhadap umat Islam sejak awal kedatangan
Islam dan mereka mengambil harta kaum muhajirin dengan cara yang zalim.
Rasulullah yang mengetahui mereka melewati wilayah Madinah pun mencegat
mereka. Tidak terjadi kontak fisik dalam peristiwa ini. Terjadi
perjanjian damai antara Rasulullah dengan Amr bin Makhsyu adh-Dhamiri.
Kedua: Perang Buwath.
Terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 2 H/623 M. Dalam Perang ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memimpin langsung 200 orang sahabatnya. Sementara kafilah kafir Quraisy
yang berjumlah 100 orang dipimpin oleh Umayyah bin Khalaf. Kafilah ini
membawa 2500 onta.
Mengetahui pergerakan Rasulullah dan pasukannya, orang-orang Quraisy
pun mempercepat langkah mereka dan melewati jalan yang tersembunyi untuk
menghindari cegatan kaum muslimin. Peristiwa ini pun berakhir tanpa
kontak senjata.
Ketiga: Perang Safwan atau Perang Badar Pertama.
Perang Badar I terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 2 H. Peristiwa
ini dilatarbelakangi oleh tindakan Kirz bin Jabir al-Fahri yang
menyerang peternakan penduduk Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 70 orang sahabatnya untuk menghadapi pembuat onar ini. Sesampainya di daerah Safwan, Nabi tidak menemukan mereka.
Keempat: Perang Usyairah.
Perisitwa ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 2 H. Rasulullah
memimpin 150 orang sahabatnya untuk menghadang kafilah Quraisy. Tidak
terjadi kontak senjata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan ikatan perjanjian damai di jalur kafilah dagang itu dengan kabilah Bani Mudlij dan sekutu-sekutu Bani Dhamrah.
Kelima: Perang Badar II
Perang Badar II ini adalah perang yang sangat masyhur. Karena begitu
akrabnya pembaca sejarah Islam dengan peristiwa ini, sampai-sampai
perang ini dianggap sebagai aktivitas militer pertama yang dilakukan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Perang ini terjadi para bulan Ramadhan tahun 2 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memimpin 313 orang kaum muslimin menghadapi 1000 orang-orang Mekah
dibawah pimpinan Abu Jahal. Sama seperti aksi militer sebelumnya, perang
ini dilatarbelakangi pencegatan kafilah dagang Quraisy. Namun upaya
pencegatan itu diketahui oleh pihak Quraisy sehingga mereka meminta
bantuan kepada kaumnya di Mekah. Mekah pun mengelurkan orang-orang
terbaik mereka dengan persenjataan lengkap.
Dalam perang ini, 22 orang sahabat Nabi gugur sebagai syuhada. Di
pihak musyrikin Mekah 70 orang tewas dan 70 lainnya terluka. Perang ini
pun dimenangkan oleh kaum muslimin.
Keenam: Perang Bani Qainuqa’.
Bani Qainuqa’ adalah nama kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah.
Rasulullah memerangi mereka pada bulan Syawal tahun 2 H. Peristiwa ini
dilatarbelakangi peghkhianatan Yahudi atas perjanjian damai yang telah
mereka sepakati dengan kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung perkampungan mereka selama 15 hari. Akhirnya mereka pun menyerah dan diusir dari Madinah.
Ketujuh: Perang Bani Sulaim.
Perang ini terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 2 H. Tidak sampai 7
hari setelah tiba di Madinah dari Perang Badar, Rasulullah berangkat
menuju Bani Sulaim dengan membawa 200 orang pasukan. Keberangkatan
Rasulullah ini dikarenakan Bani Ghathafan dan Bani Sulaim yang bersekutu
memerangi Madinah.
Sesampainya di Qarqaratu al-Kidr, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjumpai sekutu tersebut karena mereka telah melarikan diri setelah melihat pasukan kaum muslimin.
Kedelapan: Perang as-Suwaiq.
Perang as-Suwaiq terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 2 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memimpin 200 orang sahabatnya menghadapi 200 orang musyrikin yang
dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Perang ini dilatarbelakangi kemarahan
orang-orang Mekah karena kekalahan mereka di Badar.
Dalam al-Kamil fi at-Tarikh, Imam Ibnul Atsir menyatakan
sepulangnya dari Perang Badar, Abu Sufyan bernadzar tidak akan
membiarkan air menyentuh kepalanya karena junub sebelum ia memerangi
Nabi Muhammad. Lalu ia membawa 200 orang penunggang kuda dari kaum
Quraisy menuju Madinah. Di Madinah, mereka bermalam di rumah seorang
Yahudi dari Bani Nadhir yang bernama Salam bin Misykam. Dari sana ia
memata-matai kondisi malam hari Kota Madinah.
Abu Sufyan memerintahkan beberapa orang untuk keluar mengawasi
keadaan. Lalu mereka membunuh salah seorang Anshar. Kabar ini sampai
kepada Nabi, beliau pun menyiapkan pasukan dan mengejar orang-orang
Quraisy tersebut. Namun beliau tidak berhasil menemukan mereka.
Kesembilan: Perang Dzi Amr atau Perang Ghathafan atau Perang Anmar.
Terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 3 H. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 450 orang sahabatnya menghadapi orang-orang Ghathafan dari Bani Tsa’labah bin Muharib yang hendak menyerang Madinah.
Dalam perjalanan Rasulullah mengejar orang-orang Ghathafan, beliau
kehujanan lalu melepas pakaiannya dan menjemurnya. Saat beliau sedang
duduk istirahat, datanglah seorang laki-laki yang bernama Du’tsur bin
al-Harits mengacungkan pedang ke kepala Rasulullah. Ia berkata, “Siapa
yang akan menghalangimu dariku sekarang?” Maksudnya, siapa yang akan
menolongmu dari pedangku. Dengan tenang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah.” Lalu ia pun tergetar dan jatuhlah pedang dari tangannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengambil pedang tersebut dan berkata, “Siapa yang akan menghalangimu
dariku?” Ia menjawab, “Tidak ada seorang pun.” Kemudian ia mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Setelah itu Du’tsur datang menemui kaumnya dan mendakwahkan Islam kepada mereka. Lalu turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ
أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang
diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak
menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah
menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya
kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.” (QS.
Al-Maidah: 11).
Peristiwa ini pun berakhir tanpa kontak senjata.
Dari sembilan peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas, kita tidak menjumpai ambisi untuk menumpahkan darah manusia.
Ketika orang-orang sudah lari, Rasulullah tidak mengejar mereka atau
menyerang perkampungan mereka. Demikian juga dalam Perang Badar yang
benar-benar terjadi kontak senjata, dari 1000 orang musyrikin Mekah yang
tewas hanya 70 orang. Bandingkan dengan apa yang terjadi di Andalusia,
Islam seolah-olah tidak pernah menjejak di sana akibat pembantaian dan
pengusiran. Lihat pula apa yang dilakukan Amerika, bahkan penduduk
sipil; perempuan dan anak-anak pun tidak selamat dari jet tempur dan
bom-bom mereka.
Bersambung insya Allah..
Sumber:
– Hisyam, Ibnu. 2009. as-Sirah an-Nabawiyah. Beirut: Dar Ibn Hazm.
– Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizaratu al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah.
– ash-Shalabi, ALi bin Muhammad. 2007. Ghazawatu ar-Rasul; Durus wa ‘Ibar wa Fawaid. Kairo: Muas-sasatu Iqra.
– Artikel-artikel Islamweb.com
– Artikel-artikel al-Hakawati.net
Artikel kisahmuslim.com
– Hisyam, Ibnu. 2009. as-Sirah an-Nabawiyah. Beirut: Dar Ibn Hazm.
– Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizaratu al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah.
– ash-Shalabi, ALi bin Muhammad. 2007. Ghazawatu ar-Rasul; Durus wa ‘Ibar wa Fawaid. Kairo: Muas-sasatu Iqra.
– Artikel-artikel Islamweb.com
– Artikel-artikel al-Hakawati.net
Artikel kisahmuslim.com
Blogger Comment
Facebook Comment